Saya
tertegun membaca catatan seorang teman yang dikutipnya dari ISLAMIC
LIBRARY “Ketika Iffah mulai luntur” (dibalik fenomena facebook). Sebuah
note yang mengusik harga diri, moral etik dan kesantunan dalam
komunikasi komunal. Wajah facebook semakin menampilkan mike up
penggunanya yang tak terhingga.
Sebagai sebuah fenomena yang rata menggejala, facebook semakin
bergeser dari sekedar alternatif jalinan komunikasi di dunia maya. Ada
user yang begitu cerdas memanfaatkan statusnya untuk menyampaikan pesan
yang bermanfaat. Menjadikannya sebagai alat penggerak solidaritas yang
massif untuk menghimpun dukungan atas penderitaan orang lain. Ada yang
mendisainnya sebagai link dakwah dan pesan Islam rahmatan lil alamin
atau aktifitas lain dalam kerangka amar ma’ruf nahyi munkar.
Alhamdulillah, terhadap yang demikian ini, kita patut bersyukur dan
mengapresiasinya dengan tulus.
Ada pula user yang menjadikan wallnya bagai “tembok ratapan” atas apa
yang dialaminya seharian begitu naif. Ada yang sekedar iseng mengumbar
kata yang tidak jelas apa makna dibalik apa yang ia tulis. Yang lebih
dari itu, ada pula facebooker yang memanfaatkan status pertemanan
mayanya sebagai alat mengelabui orang lain. Bahkan ada yang sengaja
memasang “jerat” untuk orang yang dibidiknya. Terhadap yang demikian,
sangat terasa bahwa pertemanan di dunia maya hanyalah mendiskon waktu
tanpa mendapatkan manfaat apa-apa selain kesenangan semu belaka. Bahkan
bisa jadi, facebook tak ubahnya seperti menggali lubang ”sial” bagi
penggunanya.
Yang cukup rawan adalah fasilitas audio visual di facebook. Memang,
video, film atau gambar, membuat pesan yang ditampilkan di wall begitu
jelas dan hidup. Dalam hitungan detik pesan itu diterima ke seberap pun
jumlah relasi dalam pertemanan di account facebook. Namun lagi-lagi, ada
video atau potongan film atau gambar yang sangat kental nuansa moral
etiknya. Ada pula yang sangat rendah nilai moral etiknya. Maka facebook,
seperti sebilah pisau bermata dua. Note teman saya itu membuat saya
tersadarkan akan hal itu. Katanya, “STATUS FB KAMU…HARGA DIRIMU”. Sebuah
catatan menyindir dan menohok atas status pertemanan di dunia maya.
Berteman pada dasarnya adalah naluri. Siapapun memiliki kecenderungan
mencari teman, menerima teman dan ingin diterima dalam status
pertemanan. Sebab sifatnya yang naluriah (fitrah) itu, Islam mengajarkan
agar pertemanan hendaknya diikat dalam bingkai saling menghormati,
menghargai dan masing-masing pihak menjaga kehormatan pribadi orang lain
dalam jalinan pertemanannya. Bahkan sangat dianjurkan apabila memilih
atau menerima teman diniatkan untuk menjalin sillaturrahim dan
persaudaraan. Inilah kerangka dasar pertemanan yang patut dikembangkan
ddan diindahkan.
Rambu-rambu jalinan pertemanan yang sehat dan hanif sebenarnya sudah
sangat jelas kita miliki dalam khazanah Islam; dien yang kita junjung
kemuliaannya. Begitu juga dari sisi kejiwaan maupun nilai-nilai moral.
Baik nilai-nilai moral yang berkembang di masyarakat (sosial), apatah
lagi nilai-nilai Islam sebagai nilai yang paling luhur dalam pola
hubungan antar individu seperti telah disinggung. Seyogyanya, seorang
facebooker muslim atau muslimah harus setia menampilkan nilai-nilai
Islami dan mengembangkannya setiap kali berinteraksi dengan teman di
dinding facebooknya. Namun kesadaran demikian belumlah merata dipahami
setiap kita.
Memang bagian dari sifat bawaan dalam konteks naluri berteman,
manusia memiliki kecenderungan yang beragam. Seseorang memilih teman
akan selalu mengikuti kata hati dan kecenderungan yang ada pada dirinya.
Setiap orang pastilah begitu. Tetapi kepastian itu beraneka ragam
bergantung masing-masing pribadi. Maka dapatlah dimaklumi apabila ada
yang menolak berteman dengan seseorang karena menurutnya tidak sesuai
dengan type atau selera kecenderungannya.
Sebaliknya, ada orang yang baru beberapa saat berkenalan telah merasa
akrab sebab keduanya merasa memiliki kesamaan dalam beberapa hal.
Benarlah isi dari sebuah riwayat yang menyatakan:
”Ruh-ruh manusia tersusun laksana prajurit yang berbaris. Mana yang
saling kenal (cocok/sesuai/se-ideologi) akan saling berpadu. Dan mana
yang saling mengingkari akan berselisih/berpisah.” (HR. Al-Bukhari).
Riwayat ini bukan saja menjelaskan fakta kecenderungan setiap orang
dalam memilih teman. Tetapi menjadi dasar untuk mencermati ke mana arah
pertemanan itu dibawa. Riwayat ini hemat saya bersesuaian dengan satu
riwayat yang menyatakan bahwa:” Setiap yang dilahirkan mengikut fitrah,
kemudian ibu bapaknya menjadikannya Yahudi atau Nasrani ataupun Majusi”.
Dengan kata lain, seseorang membawa kecenderungan berteman sejak
lahir kepada siapa yang cocok dengannya berteman. Dan kecenderungannya
semakin berkembang sebab lingkungan pertemanannya mendukung penuh
disebabkan persamaan karakter yang melekat pada jiwanya. Apabila
lingkungan pertemanannya bernuansa tauhid, maka besar kemungkinan
tauhidnya berkembang subur. Tetapi ketika lingkungannya adalah jahil,
tidak tertutup kemungkinan ia menjadi layaknya manusia jahiliyah. Karena
itu, idiologi seorang teman patut dicermati.
Sebagaimana kita ketahui, sebuah idiologi akan mengikat seseorang
dengan amat sangat kuat. Idiologi itu akan mewarnai pola pikir, pola
ucap, pola baca, pola tulis dan segala relasinya yang kemudian menjadi
pola dalam setiap interaksinya. Sangat mungkin sekelompok orang akan
berteman secara komunal dan akrab karena idiologi marxis yang sama-sama
mereka anut. Begitu juga orang yang berpaham pluralis, liberalis atau
skuleris akan saling merasa cocok satu sama lain karena sebab yang sama.
Maka tidaklah aneh, apabila ada pribadi yang merasa risih berdekatan
dengan penjudi, pemabuk atau pezina. Bahkan ia ingin berlari
sejauh-jauhnya dari mereka lantaran dirinya lebih banyak berkumpul dan
merasa dekat dengan orang-orang yang berakhlak kariimah.
Sebaliknya juga begitu. Secara naluriah, remaja pelaku dan pegiat
maksiat yang akrab dengan narkoba, seks bebas, diskotik dan hiburan
malam akan menghindari remaja masjid yang senang berlama-lama di masjid,
doyan ngaji dan memperdalam agama yang menjadi idiologinya.
Alangkah relevannya riwayat Imam Ahmad yang dengan amat jernih
menegaskan bahwa teman seperti idiologi. Dinyatakan dalam riwayatnya:
”Seseorang akan mengikuti agama/keyakinan sahabat karibnya. Maka
hendaklah setiap orang memperhatikan siapa yang menjadi sahabatnya itu.”
(HR. Imam Ahmad).
Catatan teman saya yang mengutif sorotan atas beberapa status yang
banyak muncul di layar facebook memang boleh dikata sudah tidak wajar.
Bahkan terkesan vulgar dan seronok. Mungkin bagi yang merasa cocok
karena memiliki kesamaan kecenderungan, status itu dianggap biasa-biasa
saja, wajar dan lumrah. Tapi ternyata tidak oleh teman saya, dan saya
menilainya pun demikian vulgarnya. Namun bisa jadi karena perbedaan
karakter dan kecenderungan, yang menilai vulgar itulah yang dituduh
memiliki pikiran ngeres, jorok dan seronok.
Cobalah cermati status berikut yang dikutip teman saya dari “Ketika
Iffah mulai luntur” (dibalik fenomena facebook). Tertulis status seorang
wanita:
“Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya ….?”
Sekilas, bunyi status seperti ini memang biasa saja apabila hanya untuk
dinikmati sendiri oleh penulisnya. Tetapi ketika status seperti itu
dibagikan kepada sekian ribu isi kepala, maka segera akan menjadi
masalah.
Komentar-komentarlah yang mempertegas bahwa status itu mengundang
masalah seperti ditulis salah seorang lelaki yang dalam komentarnya:
”mau ditemanin? Dijamin puas deh…” Apa yang Anda bayangkan kemudian?
Bukankah coretan dinding seperti ini terkesan liar meskipun dapat
ditebak arahnya? Lain hal kalau komentar itu berbunyi misalnya,” minum
wedang jahe Mba, pasti menghangatkan”. Atau,” gosok gigi, cuci kaki,
ambil selimut tebal, tidur deh”. Bukankah kesan yang ditimbulkannya
berbeda dari yang pertama?
Kutipan selanjutnya, seorang wanita lainnya menuliskan statusnya:
“bangun tidur, badan sakit semua, biasa … habis malam jumat ya begini…”.
Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya, “habis minum jamu
nih…., ada yang mau menerima tantangan? Status dan komentar seperti itu
bersahut-sahutan tak terkendali. Sampai kepada status yang berbunyi, “
mau tidur nih, panas banget…bakal tidur pake dalaman lagi nih”.
Status kurang elok seperti ini langsung memancing berpuluh2 komentar
datang. Ada komentar yang nakal dan bernada melecehkan juga bermunculan.
Maka sebuah status jahil, akan diaminkan dengan bahasa yang jahil pula.
Seperti koor paduan suara, saling sambut penuh ”nafsu’ mengumandangkan
suaranya. Tak disadari, status serta komentar seperti itu laksana
interaksi persahabatan tanpa hati nurani dan rasa malu. Fenomena di atas
menjadi tanda besar bagi facebooker muslim, bahwa hegemoni ‘kesenangan
semu’ yang dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ tengah
ditampilkan facebook yang melindas semua rasa malu, tata krama dan
kehormatan diri. Inikah ciri khas pertemanan maya?
Lalu terngianglah di telinga bait syair yang ditulis sastrawan Taufik
Ismail yang dinyanyikan Chrisye. Chrisye memang telah berpulang ke
haribaan Allah. Tetapi pesan dalam lagunya seperti tetap hidup dalam
konteks menata diri dalam berbagai spektrum. Sangat relevan saat menulis
status di facebook yang menyelamatkan.
Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba…
Rabbana Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah Kukuhkanlah Di jalan cahaya
Sempurna Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu Yang hina
Menilik secara jujur riwayat Imam Ahmad di muka, sesungguhnya teman
adalah cermin diri setiap orang. Orang yang berkawan karib dengan
pribadi seronok, adalah pantulan bayangan atas cermin dirinya. Begitu
pun sebaliknya, senang bergaul dekat dengan orang-orang soleh adalah
juga bayangan atas dirinya.
Maka kriteria teman baik dan buruk menjadi sangat jelas. Teman baik
bagi seorang muslim adalah teman yang bisa menyelamatkan. Teman yang
meneguhkan saat berada di jalan yang lurus dan mengingatkan saat keliru
bermain-main di jalan yang salah. Teman baik seperti ini hanya bisa
ditemukan pada pribadi yang seiman dan seagama. Sedangkan teman buruk
adalah teman yang menjerumuskan pada kehinaan.
Teman yang menjauh saat ingat pada kebaikan dan amal saleh, tetapi
mengajak semakin jauh tersesat di saat terlena pada kedurhakaan dan
maksiat. Dengan demikian, berhati-hati memilih teman jauh lebih bijak
dari sekedar alasan memperbanyak teman tanpa memilah dan memilih siapa
di antara semuanya yang layak dijadikan sebagai teman.
Apabila diri kita dianggap sebagai teman, tolonglah teman yang
dizalimi dengan memberikannya perlindungan dari kezaliman. Tolong pula
teman yang zalim dengan menghentikan perbuatan zalimnya. Dengan begitu
kita telah menjadi teman yang baik. Teman yang bukan semata-mata
menunjukkan jalan ke surga, tetapi juga teman yang mampu menyelamatkan
sahabt dari jilatan api neraka meskipun sebelah kakinya telah tercebur
ke jurangnya yang menganga.
Duhai sahabat, mari menulis, menulis yang menyelamatkan
Mari membaca, membaca yang mencerdaskan
Mari berbagi, berbagi yang memuliakan
Sumber : http://www.untukku.com/tutorial-untukku/status-jahili-renungan-di-balik-layar-facebook-untukku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar